Minggu, 23 Oktober 2011

Satu Jam Saja (Short Story)

Sorry Gak Jelas... Aku buat ini juga lagi blank........
Silahkan membaca... (Ini bukan aku mengambil dar http://berikami.blogspot.com, tapi itu juga milikku)

Satu Jam Saja


Cakka P.O.V.
           
“Sa... sorry....! Sekarang kita harus putus...!”. Sasa yang baru saja merasakan hangat pelukku saat aku pulang ke Yogyakarta sontak kaget.
“Apa, Cakk?? Aku baru aja kangen-kangenan sama kamu! Kamu bilang putus secepat itu!” Sasa marah dan melemas.
“Sorry...! Selama ini aku punya pacar lebih dari kamu!!” aku ku.
“Hah?? Siapa aja...!?” ucap Sasa marah sekaligus kaget.
Via
Seli
Natasha
Adel
Syeila
Kezia
Risma
Aura
Ellen
Meisye
Nadya
Aku menyebut rentetan nama pacarku selain Sasa. Lancar...
Sasa melongo tak percaya. Aku hanya cengar-cengir.
“Tapi, Sa...! Keputusan aku untuk mutusin kamu itu karena seseorang... Dia pacar aku di Jakarta. Nama dia Oik. Dia sekarang kena penyakit Kanker Paru-paru... Aku pingin ngasih kasih sayang aku hanya sama dia...! Dia butuh aku, Sa!! Kumohon kamu maafin aku dan ikhlaskan aku, ya??” bujukku.
Sasa yang mendengar ceritaku, langsung memelukku, punggungku basah.
“Sa, kamu nangis...??” tanyaku.
“Aku ikhlas ngerelakan kamu, kamu harus jaga Oik baik-baik, cintai dia!!” nasihat Sasa. Lalu melepaskan pelukannya. Dan mengusap air matanya.
“Aku pamit, Sa?? Jaga dirimu baik-baik...!” ucapku. Lalu pergi meninggalkan Sasa yang menangis terharu di pintu gerbang rumahnya.
Huh, akhirnya satu bebanku hilang. Sekarang tinggal 11 orang lagi. Benakku.
Semua pacar-pacarku kaget dan marah, layaknya Sasa. Mereka juga menagis terharu atas pengorbananku mutusin mereka.
Akhirnya tugasku di Yogya sudah selesai. Kini, aku mau balik ke Jakarta. Aku mesan tiket kereta. Aku lebih milih kereta karena lebih bisa melihat pemandangan desa yang sangat indah. Supaya aku bisa lebih tenang. Aku pesan yang VVIP. Hihihihi, bukannya aku sombong, ya??!.
Uhh, leganya. Jakarta I’m coming. Setelah sampai di Jakarta, aku tidak langsung pulang, aku langsung menuju rumah kekasih hatiku. Oik.
Kulihat, Oik sedang asyik menikmati hembusan angin sore hari di sebuah kursi santai di taman depan rumahnya. Dilengkapi dengan I-Pod kesayangannya yang kubelikan saat ulang tahunnya yang ke-20 tahun. Dirumah itu, Oik hanya tinggal dengan pembantu, sopir, dan tukang kebunnya. Orang tuanya telah berpisah. Ibunya bekerja sebagai pengusaha di Kalimantan, dan Ayahnya menjadi pengusaha di Papua.
“Ik...?!” sapaku. Membuatnya menengok senyum kearahku.
“Cakka!? Kamu sudah pulang dari Yogya?? Gimana rasanya??” tanyanya.
“Kamu kok nggak nyuruh aku duduk!!??” kataku jail.
“Kamu ini orangnya aneh, kayak baru kenal aja sama aku, duduk aja sendiri!!” katanya gemas.
Aku hanya tertawa.
“Akhirnya. Aku sudah mutusin semua pacarku..! Dan cintaku seutuhnya hanya milik kamu...!”
“Ah, kamu gombal, Cakk??!”  tawanya.
“Cakk?? Kita jalan-jalan ketempat favorit kita, yuk?? Lama kita udah nggak kesana!!” ajak Oik.
“Yuk, tunggu apa lagi??!” aku langsung menarik tangan Oik. Oik hanya nurut aja.
Aku langsung menyetop taksi yang lewat di depan rumah Oik yang cukup besar itu.
“Pak, ke Danau Biru, ya??” pinta Oik kepada Pak Sopir Taksi.
“Baik, mbak!!”
20 menit kemudian, aku dan Oik akhirnya tiba di Danau Biru, tempat favorit kami. Saksi buta pertama yang menyaksikan aku menyanyikan lagu Just The Way You Are milik Bruno Mars, penyanyi idolaku dengan gitar kesayanganku.
“Cakk, aku mau naik perahu itu...” pinta Oik.
Aku tersenyum dan menyubit pipi Oik sebelum aku lari untuk menyewa perahu kecil untuk mengintari danau yang cukup luas itu. Namun dengan kedalaman 1 meter saja. Jadi jika ada yang terjatuh, tidak terlalu berbahaya.
“Oik, sini...!?” teriakku dari pondok penyewaan. Oik lalu berlari kecil, menyusul kearahku.
“Naik sini...??” ajakku. Oik hanya nurut.
Di perahu kecil itu, hanya ada aku dan Oik. Tak ada siapapun lagi.
“Cakka, jika aku mati, apakah kamu akan berpaling dengan wanita lain...??” tanyanya. Aneh.
“Hmmm, ada 2 teori yang ada dipikiranku. 1. aku akan berpaling dengan wanita lain jika kamu mengijinkanku, 2. Teori yang paling besar, aku tidak akan berpaling, karena aku sangat mencintai kamu, bagaimana?? Kamu mau pilih teoriku yang mana??” candaku.
“Aku bakalan ngijinin kamu, kok!! Jadi, aku milih teori yang nomer 1...” ujarnya. Sedetik kemudian hening.
“Kok, kamu begitu, jadi kamu nggak sayang sama aku lagi??” tanyaku.
“Justru, kalo aku pergi nanti, kamu nggak akan kesepian...!!” ujarnya enteng. “Itu karena aku sangat sayang sama kamu!!” tambahnya.
“Kok, kamu bilang begitu??” tanyaku bingung.
Diam. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Oik. Kata-kata baru keluar dari mulut Oik saat kami sudah turun dari perahu.
“Cakka, kita duduk dibawah pohon itu, yuk??” ajaknya.
“Yuk....!”
Kami berduapun duduk dibawah pohon yang sangat besar beralaskan rumput hijau. Disanalah Oik menyanyi kecil.


Jangan berakhir
Aku tak ingin berakhir
Satu jam saja
Kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada

Jangan berakhir
Karna esok takkan lagi
Satu jam saja
Hingga kurasa bahagia
Mengakhiri segalanya

Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
Satu jam saja
Itupun tak mungkin
Tak mungkin kagi

Jangan berakhir
Ku ingin sebentar lagi
Satu jam saja
Ijinkan aku merasa
Rasa itu pernah ada....

(Lala Karmela – Satu Jam Saja)

Setelah menyanyikan lagu itu, ia merebahkan kepalanya di betis ku.
“Lagu ini aku persembahkan untukmu untuk terakhir kalinya...” ucapnya.
“Maksudmu??” aku semakin bingung dengan Oik hari ini.
Dia hanya  tersenyum manis. Manis sekali. Itu adalah senyumannya yang paling manis yang pernah kulihat. Lalu ia tertidur. Mungkin dia mengantuk karena terlalu lelah.
5 menit dia sudah tertidur. Dia tidur sambil tersenyum. Oh, indahnya.
“Ik, kita pulang, yuk??” ajakku. Hening. Tak ada jawaban.
“Oik, kita pulang, yuk?? Tidurnya dilanjutkan dirumah aja!?” ajakku. Kini sedikit lebih nyaring. Tapi, Oik tetap tidak bangun. Aku cemas. Aku ambil pergelangan tangannya. Tak, ada denyut nadi yang teraba. Oh, tidak....
“Pak, tolong... Kerumah sakit terdekat aja, Pak??” pintaku panik kepada sopir taksi yang aku berhentikan.
Diperjalanan aku panik sekali. Oh, Tuhan... Kumohon jangan kau panggil Oik secepat ini.... pintaku.
Setelah sampai, anggota medis mengangkat tubuh Oik ke atas tempat tidur yang sudah di sediakan. Aku tetap menemani Oik saat tempat tidur itu didorong.
“Maaf, Mas, Mas harus tunggu disini!! Biar dokter yang menangani!!” ujar seorang suster yang juga menangani Oik sedari tadi.
5...10...15...20 menit sudah berlalu. Dokter belum juga keluar. Aku makin panik...
Akhirnya...
“Maaf, mas, ini siapanya Nona Oik, ya??”
“Um, saya Pacarnya...”
Wajah sang dokter sudah tidak enak dipandang.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Nona Oik, karena anda terlambat membawanya... Mungkin, ini semua kehendak Tuhan, sekali lagi kami anggota medis mohon maaf dan turut berduka cita...” Dokter itupun langsung meninggalkan aku yang sedang sedih. Perih hatiku, setelah kehilangan separuh jiwaku.
“Maaf, Mas!! Anda kerabat Nona Oik??” tanya seorang suster yang menghampiriku.
“Iya... Ada apa, Sus??” tanyaku.
“Tolong urus surat-surat administrasi untuk mengambil jenazah Nona Oik?!” kata Suster itu, lalu pergi.
“Baik...!” ujarku. Bangkit. “Sebaiknya aku menghubungi Tante Indah...!!”
Via telepon.
Tante Indah         :               Hallo, Cakka... Kenapa?? Nggak biasanya nelpon tante...
Cakka                    :               Tante, maaf, Cakka baru bisa ngomong sekarang... Oik..oik...oik...
Tante Indah         :               Kenapa dengan Oik, Cakka??”
Cakka                    :               Oik meninggal dunia, Tante!!
Tante Indah         :               Apa?? Innanillahi Wa’inallilahi Raji’un. Ok!! Tante bakalan cepat pulang..
Cakka                    :               Baik tante..
                Aku salut sama Tante Indah. Beliau  tetap sabar. Oik hanya anak satu-satunya. Beliau juga sudah bercerai dengan  sang suami.
                Besoknya, aku menjemput Tante Indah di Bandara.
                “Cakka, jenazah Oik sudah diurus belum...!?”
                “Sudah tante...! Hari ini, rencananya jenazah Oik mau dimakamkan...!!”
               
Tanah merah disana masih basah, harum bunga mawar masih tercium. Baru saja jenazah sang putri dimakamkan. Tertulis di batu nisannya.
Oik Cahya Ramdlani
Binti
Ahmad Cahyono Rhamadani
Tanggal            :           12 Juni 1990
Wafat   :           23 April 2011
 









@ 40 hari kemudian

       “Cakka, sudah siap belum... Tolong, susunkan buku Yassin-nya, ya??”
“Baik, Mah!!”. Sudah 29 hari yang lalu, aku memanggil mamanya Oik dengan sebutan “Mamah”. Aku diangkat menjadi anak angkat beliau. Di 40 hari kepergian Oik, kami mengadakan baca Yassin bersama di rumah Oik.

“Ah, akhirnya sudah selesai acaranya...??” ujarku.
Saat aku ingin tidur siang, aku tertarik ingin memasuki kamar Oik,. Setelah lebih dari 1 bulan ditinggal pemiliknya, pasti kamar itu tidak terurus.
“Kreekk...”. Pintu kamar berbunyi.
“Uh...”
Mataku tertuju pada sebuah diari yang ada ditempat tidur. Aku ragu, boleh nggak, ya, buka-buka objek pribadi milik seseorang, walaupun dia sudah meninggal.
Ah... kubuka saja.. Maaf, ya, Oik...
18 April 2011
                Hari ini hari libur, biasa aja...!! Cuman satu yang tidak membuatku biasa...!! Dokter bilang, kankerku makin mengganas. Bahkan dokter bilang umurku tinggal 2 bulan lagi..

21 April 2011
                Mungkin sedikit sedih, hari ini Cakka pulang kampung ke Yogyakarta... Tapi, aku tetap ikhlas. Kata Cakka, dia mau mutusin pacar-pacarnya sebelum aku. Hihihi.. aneh – aneh aja tuh dia.

22 April 2011
                Duh, sakitt... Sekali...!! Dadaku rasa ditusuk-tusuk.. Aku ingin Cakka nggak tau apa yang terjadi ama aku, umurku sebentar lagi... Jika aku meninggal besok... Aku bakal nge-ikhlasin Cakka buat berpaling sama cewek lain.. Walaupun berat rasanya..

                “Cakka??” panggil seseorang dari luar kamar.
“Mamah??”
“Hmm, mamah yakin kamu masih belum bisa ngelupain Oik!! Ya, sudah, mamah mau istirahat dulu, ya??”
Aku hanya mengangguk.
Saat mamah keluar dari kamar, ada seberkas cahaya kecil, terang, terang dan makin terang... Dan, Oik... Dia bersinar terang dengan cahaya itu.
Cakka, aku akan selalu mencintai kamu, walaupun aku sudah tiada, tetaplah mencintaiku, akupun begitu, aku akan tetap berada disamping kamu, suatu saat, kamu pasti akan menemukan orang yang lebih baik dariku... Selamat tinggal, Cakka, Sayangku........
“Oik, kumohon jangan tinggalkan aku...!!” aku meringis lalu menangis.

@10 tahun kemudian...
“Acha, Ray.... kalian jangan lari...!” teriakku.
“Ayah, ayo kejar kami....!!?” ujar 2 orang anak. Mereka berdua adalah anakku. 2 dewa-dewi kecil yang sangat manis. 10 tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang wanita berdarah Indonesia-Fhiliphina. Aren. Dia sangat cantik, baik, perhatian juga tidak cemburuan. Bahkan dia selalu menemaniku mengunjungi dan membersihkan makam Oik. Dia tahu, bahwa aku masih mencintai Oik. Dia juga mencintai Oik, karena dia juga mencintai aku. Mungkin Aren adalah orang dimaksud oleh Oik. Terima Kasih Oikku, yang kucintai. Makasih, Mamah... Sudah memberiku kepercayaan untuk menjaga Oik.
Baru kusadari, Oik, sang bidadari, memperhatikanku dari bawah pohon tempat-nya menghembuskan nafas terakhirnya sambil tersenyum manis. Lebih manis dari senyum termanis yang pernah kulihat dari dirinya. Kubalas senyumnya dengan manis jua.
TAMAT
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar